Beranda | Artikel
Peran Masjid Dalam Islam
Senin, 13 Februari 2017

PERAN MASJID DALAM ISLAM

Oleh
Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi[1]

Masjid pada zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khulafâu râsyidûn merupakan sumber segala kebaikan. Ini bukan suatu yang aneh dan asing bagi orang yang memiliki perhatian terhadap ilmu syar’i, terutama ilmu hadits, tafsir, maupun sirah.

Di masjid berbagai ibadah dilaksakan: shalat fardhu lima waktu didirikan di sana dan dari atas mimbar masjid Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak nasehat dan arahan-arahan bersumber,  sebagaimana dalam kisah Barirah, dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَمَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ قَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ

Mengapa ada kaum yang menetapkan syarat-syarat yang tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ada pada Kitabullah. Syarat apapun yang tidak sesuai dengan Kitabullah maka syarat tersebut batil, walaupun seratus syarat. Ketentuan (hukum) Allâh lebih benar, dan syarat Allâh itu lebih kuat, bahwasanya al-wala (hak loyalitas dari mantan budak) dimiliki oleh orang yang membebaskannya.”[2]

DI DALAM MASJID JUGA PARA GURU DUDUK MENGAJARKAN AL-QUR’AN DAN SUNNAH
Di dalam masjid, para Ulama dan penuntut ilmu bertemu. Oleh karena itu, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu pernah berkata kepada orang-orang yang berada di pasar, “Kalian ada di sini, sementara harta  warisan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dibagikan di masjid.” Mendengar ini, mereka bergegas meninggalkan pekerjaan mereka dan pergi ke masjid. Namun mereka  tidak menemukan kecuali orang-orang yang sedang berkumpul menuntut ilmu. Mereka pun mendatangi Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan berkata, “Kami sudah pergi ke masjid, akan tetapi kami tidak menemukan kecuali orang-orang yang sedang menuntut ilmu.” Lalu Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Itulah yang saya maksud dengan harta warisan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”

DARI MASJID JUGALAH, PARA DA’I DAN PEMIMPIN BERTOLAK
Dari  masjidlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz dan Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhuma ke Yaman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada keduanya:

Berilah kemudahan dan jangan mempersulit! Saling bantu-membantulah kalian dan jangan kalian berselisih![3]

Dari masjid juga, pasukan perang dikirim ke medan pertempuran, bermula  dari pengikatan bendera perang. Dan pada zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khulafâ’ ar-Râsyidun Radhiyallahu anhuma, kabar gembira akan kemenangan disampaikan di masjid.

Di masjid juga penghakiman (pemberian keputusan atau hukuman) berlangsung, sebagaimana yang terjadi pada kisah Mâ’iz, kisah dua orang yang saling melaknat,  kisah dua orang Yahudi yang berzina dan kisah-kisah lainnya.

Di masjid, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui para duta, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki rumah yang luas. Rumah Beliau hanya berupa kamar-kamar bagi para istrinya. Setiap istri mendiami satu rumah yang hanya berisi satu kamar. Di dalam masjid Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan para utusan dari bani Tamîm, ketika salah seorang diantara mereka memanggil Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya pujianku bisa memperindah, dan celaanku bisa memburukkan citra.”  Mendengar itu, Nabi bersabda, “ Hanya Allâh yang mampu melakukan itu.” Lalu turunlah firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allâh dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allâh! Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [Al-Hujurat/49:1]

Dari masjid, para da’i dan pelaku amar ma’ruf nahi mungkar diutus. Oleh karena itu, Ali Radhiyallahu anhu pernah berkata kepada Abi Hayyaj Al-Asadi rahimahullah , “Maukah kamu aku utus dengan mengemban tugas yang diembankan Rasûlullâh dahulu kepadaku, yaitu janganlah kamu membiarkan sebuah gambar kecuali engkau hancurkan! Jangan pula kamu membiarkan sebuah kubur kecuali kamu ratakan!”[4]

Ke masjid juga berbagai permasalahan yang ada dikembalikan. Oleh karenanya, fatwa-fatwa pula bermunculan. Berapa banyak masalah yang susah dipecahkan atau diputuskan hukumnya oleh manusia, lalu mereka mengutus seseorang kepada istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada disekitar masjid untuk bertanya. Misalnya, permasalahan orang junub apabila fajar telah tiba, namun dia belum mandi? Permasalahan orang puasa yang mencium istrinya dan berbagai permasalahan lainnya yang terkadang bersifat rahasia (yang tidak boleh diketahui kecuali oleh para istri Rasûlullâh). Lalu istri-istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan apa yang dahulu dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini merupakan fatwa.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita bisa mengatakan bahwa pada zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam masjid merupakan tempat ibadah karena di sana shalat didirikan dan dari atas mimbarnya arahan-arahan berdatangan, juga pengingkaran terhadap kemungkaran. Masjid ibarat sekolah, tempat belajar dan tempat bertemu  para Ulama dan para penuntut ilmu bertemu.

Bahkan lebih dari itu semua, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan masjid sebagai tempat penyimpanan harta zakat sebelum dibagikan, sebagaimana yang terjadi pada kisah Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, tatkala dia menjadi penjaga kurma dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (mengenai syetan yang mengajari Abu Hurairah ayat Kursi). Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Dia telah jujur kepadamu padahal dia adalah seorang pembohong.[5]

Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan para Sahabatnya di masjid tatkala akan menyampaikan hal yang membuat mereka bahagia, seperti yang terjadi pada kisah ampunan Allâh terhadap tiga orang Sahabat yang tidak ikut serta dalam perang Tabûk setelah mereka benar-benar bertaubat, sebagaimna yang termaktub dalam hadits Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu.[6] Atau sebaliknya, masjid tempat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sesuatu yang membuat pada Sahabat sedih, seperti sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ ! مَنْ يَعْذُرُنِي مِنْ رَجُلٍ قَدْ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِي أَهْلِ بَيْتِي

Wahai kaum Muslimin! Siapakah yang bisa membantuku dari seorang laki-laki gangguannya[7] kepada keluargaku sangat menyakitiku.[8]

Oleh karena itu, sangat pantas jika masjid dipuji, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ ﴿٣٦﴾ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ ﴿٣٧﴾ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Bertasbih kepada Allâh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allâh memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allâh menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allâh memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. [An-Nûr/24:36-38]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ

Dan sekiranya Allâh tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allâh. Sesungguhnya Allâh pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. [Al-Hajj/22:40]

Karena masjid merupakan pangkal dari semua kebaikan, maka pihak-pihak yang bertanggung jawab atas masjid-masjid harus mengangkat pengurus atau ta’mir  yang benar-benar pantas, semisal orang yang diketahui selalu menyebarkan ilmu yang ditopang dengan dalil dari al-Qur’an dan Hadits Rasûlullâh serta amalan para salafusshalih, baik melalui khutbahnya, nasehatnya, atau ta’lim-ta’limnya. Dan hendaknya mereka tidak mengangkat orang yang terindikasi sebagai seorang yang suka menyebarkan bid’ah, mengajak kepadanya dan membenarkannya. Sungguh! Ini adalah tanggung jawab yang akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allâh Azza wa Jalla , sudahkah dia meletakkan sesuatu pada tempatnya ataukah tidak? Sudahkah dia memilih orang yang tepat untuk mengurusi rumah-rumah Allâh Azza wa Jalla tersebut?

Permintaan pertanggungan jawab ini merupakan perkara yang tidak diragukan lagi. Pertanyaan tetangnya pasti ada. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ ﴿٦﴾ فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ ۖ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ

Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami), maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka). [Al-A’râf/7:6-7]

Kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla , semoga Allâh Azza wa Jalla memperbaiki keadaan kaum Muslimin, memperlihatkan kebenaran kepada mereka, kemudian memberikan taufik kepada mereka untuk mengikuti kebenaran tersebut. Dan semoga Allâh memperlihatkan kepada mereka kebatilan serta memberikan taufik kepada mereka untuk menjauhinya. Dan semoga Allâh Azza wa Jalla tidak menjadikan kebatilan itu samar agar mereka tidak tersesat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diterjemahkan dari risalah beliau rahimahullah Daurul Masjid fil Islam
[2] HR. Muslim, Kitabul Itqi, no. 3756, 3758
[3] HR. Al-Bukhâri, Kitâbul Jihad was Siyar, no. 2873
[4] HR. Muslim, Kitâbul Janâ’iz, no.2240
[5] HR. Al-Bukhâri, Kitâb al-Wakâlah, no.2187
[6] HR. Al-Bukhâri, Kitâb al-Maghâzi, no. 4418
[7] Ketika Aisyah Radhiyallahu anhuma dituduh melakukan perbuatan zina oleh orang-orang munafik. Peristiwa ini terkenal dengan hadîtsul ifki-red
[8] HR. Al-Bukhâri, Kitâb as-Syahâdât, no.2518


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6384-peran-masjid-dalam-islam.html